Paradigma, Prinsip dan Karakteristik Transaksi Syariah

Paradigma, Prinsip dan Karakteristik Transaksi Syariah

Paradigma, Prinsip dan Karakteristik Transaksi Syariah

Paradigma Transaksi Syariah

Transaksi syariah didasarkan pada paradigma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah swt sebagai amanah (kepercayaan illahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah). Substansinya adalah bahwa setiap aktivitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai illahiah yang menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha. Dengan cara ini akan terbentuk integritas yang akhirnya akan membentuk karakteristik tata kelola yang baik (good governance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.

Prinsip Transaksi Syariah

Transaksi syariah berasaskan pada prinsip berikut ini :

1. Persaudaraan (Ukhuwah)

Maksudnya transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian orang lain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan saling beraliansi (tahaluf).

2. Keadilan (‘Adalah – ‘Adl)

Maksudnya selalu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai dengan posisinya. Realisasi prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adanya unsur berikut ini :
  • Riba atau bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadh. Riba sendiri diartikan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam – meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya. Atau transaksi antar barang, termasuk pertukaran uang sejenis secara tunai atau ditangguhkan dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.
  • Tidak zalim. Baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman disini maksudnya adalah memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnya atau posisinya.
  • Tidak mengandung unsur judi atau bersikap spekulatif (untung – untungan) yang tidak berhubungan langsung dengan produktivitasnya di sektor riil (Maysir).
  • Unsur ketidakjelasan, manipulasi, dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksanaan akad, seperti : Ketidakpastian penyerahan objek akad, tidak ada kepastian kriteria kualitas, kuantitas, harga objek, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti isi perjanjian (gharar). Sedangkan ketidakjelasan dalam akad terjadi jika suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus (shafqatain fi al-shafqah), sehingga terjadi ketidakjelasan (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan atau diberlakukan. Hal ini terjadi bila ada akad yang dapat memenuhi ketiga faktor berikut yaitu : objek akad sama, pelaku sama dan jangka waktu sama. Contoh : transaksi lease and purchase (sewa -  beli), mengandung gharar, karena ada ketidakpastian akan mana yang berlaku. Akad beli atau akad sewa. 
  • Haram atau segala urusan yang dilarang tegas dalam al – qur’an dan as – sunah, baik dalam barang atau jasa ataupun aktivitas operasional lainnya yang terkait.

3. Kemaslahatan (Maslahah)

Maksudnya segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individu dan kolektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur, yaitu halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat). Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi keseluruhan unsur – unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap agama (di’en), intelektual (‘aql), keturunan (nasl), jiwa dan keselamatan (nafs) serta harta benda (mal). 

4. Keseimbangan (Tawazun

Maksudnya keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor riil, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi juga memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga semua dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.

5. Universalisme (Syumuliyah - Alamiyah)

Maksudnya secara esensi dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).

Karakteristik Transaksi Syariah

Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asa transaksi syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain :
  1. Transaksi harus dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha
  2. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib)
  3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas
  4. Tidak mengandung unsur riba
  5. Tidak mengandung unsur kezaliman
  6. Tidak mengandung unsur maysir
  7. Tidak mengandung unsur gharar
  8. Tidak mengandung unsur haram
  9. Tidak menganut prinsip waktu adalah uang (time value of money). Karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al – ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk).
  10. Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (Ta’aluq) dalam satu akad.
  11. Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (Najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (Ihtikar)
  12. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap – menyuap (Risywah) baik dalam bentuk uang, fasilitas atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. Suap dapat merusak sistem yang ada di masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan ketidaksamaan perlakuan.


Karakteristik transaksi syariah tersebut di atas dapat diterapkan pada transaksi bisnis yang bersifat komersial maupun yang bersifat non komersial.

Sumber Referensi :

Akuntansi Syariah di Indonesia. Sri Nurhayati dan Wasilah, 2017. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Karim, Adiwarman, 2003. Jakarta: International Institut of Islamic Thought Indonesia.
Menata Industri Pegadaian melalui POJK No.31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian

Menata Industri Pegadaian melalui POJK No.31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian

Penyelenggaraan usaha pergadaian (atau sering di sebut pegadaian, usaha jasa gadai) memperluas layanan jasa keuangan dengan memberikan kemudahan akses terhadap pinjaman, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah yang tidak dapat memenuhi persyaratan untuk memperoleh pendanaan dari lembaga keuangan seperti perbankan dan perusahaan multifinance. Perusahaan pergadaian hadir memberikan solusi dengan mampu menyediakan dana tunai secara mudah, cepat dan prosedur yang sederhana bagi masyarakat.

Sejatinya usaha pergadaian telah diatur dan diawasi oleh pemerintah sejak jaman pemerintahan hindia belanda. Namun peraturan hanya mengatur usaha pergadaian milik pemerintah, sebelum POJK ini belum ada aturan hukum yang mengatur tentang kegiatan usaha gadai oleh perusahaan swasta. Saat ini di kota – kota besar selain pergadaian milik pemerintah, mulai banyak pergadaian swasta yang memberikan layanan jasa gadai Seperti jasa kredit gadai, jasa penitipan barang, jasa penaksiran nilai barang dan gold counter. Seiring dengan pertumbuhan industri tersebut maka usaha pergadaian di Indonesia perlu di atur dan diawasi. Hal ini agar persaingan sehat antara pergadaian pemerintah dan swasta tetap terjaga, memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha pergadaian, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Berdasarkan UU No. 21 tahun 2011 tentang Otorita Jasa Keuangan (OJK), usaha pergadaian merupakan lembaga jasa keuangan yang diatur dan berada dalam pengawasan OJK. Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya tersebut, OJK memerlukan payung hukum di bidang usaha gadai. POJK No.31/POJK.05/2016 inilah yang menjadi landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi usaha pergadaian di Indonesia.

Pergadaian - Usaha Jasa Gadai

POJK ini memuat kewajiban perusahaan pergadaian untuk mendaftar, memperoleh izin usaha dari OJK serta memenuhi standar minimal yang harus dipenuhi oleh perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha pergadaian. 

Point – Point Utama Peraturan Otorita Jasa Keuangan (POJK) No. 31/POJK.05/2016 tentang usaha pergadaian :

1. Seluruh badan hukum usaha pergadaian harus terdaftar dan memiliki izin usaha dari OJK (POJK No.31/POJK.05/2016 pasal 5, pasal 8 dan pasal 9)

Peraturan OJK ini memuat kewajiban Perusahaan Pergadaian untuk mendaftar dan mendapat izin usaha pergadaian dari OJK. Terkecuali Perusahaan Pergadaian Pemerintah karena telah diawasi oleh OJK sebelum Peraturan OJK ini mulai berlaku. Oleh karena itu, Perusahaan Pergadaian Pemerintah tidak perlu mengajukan lagi permohonan izin usaha kepada OJK. 

Permohonan pendaftaran pelaku usaha pegadaian diajukan kepada OJK paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK diundangkan (POJK ini diundangkan sejak 1 agustus 2016). Setelah terdaftar, perusahaan pergadaian wajib mengurus izin usaha perusahaan pergadaian.

Bagi mereka yang belum mengantongi izin usaha pergadaian, OJK memberi kesempatan untuk mengurus izin hingga batas waktu 29 juli 2019. Jika setelah tanggal tersebut perusahaan pergadaian tidak mengurus izin usaha perusahaan pergadaian maka OJK akan berkoordinasi dengan satuan tugas investasi untuk melakukan penindakan.

Pendaftaran Usaha Pergadaian (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 5)

Permohonan pendaftaran Pelaku Usaha Pergadaian di sampaikan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: 
  1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang.
  2. Bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm dari pemilik kecuali koperasi, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
  3. Surat keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang;
  4. Bukti telah melakukan kegiatan usaha; dan
  5. Foto unit layanan (outlet) berukuran 4R/5R.
OJK memberikan persetujuan atas permohonan pendaftaran paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya dokumen permohonan pendaftaran secara lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini.

Pelaku Usaha Pergadaian yang pendaftarannya di setujui akan memperoleh Tanda Bukti Terdaftar. Yang dimaksud “tanda bukti terdaftar” yaitu surat yang menerangkan bahwa perusahaan telah terdaftar pada OJK sebagai Pelaku Usaha Pergadaian, bagi yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau Pelaku Usaha Pergadaian syariah, bagi yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. 

Tanda bukti terdaftar tersebut harus dicantumkan pada setiap kantor atau unit layanan gadai (outlet).

Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pergadaian dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK diundangkan. Yaitu mengajukan izin usaha perusahaan pergadaian paling lambat pada tanggal 31 Juli 2019.

Perizinan usaha perusahaan pergadaian (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 9)

Permohonan perizinan usaha perusahaan pergadaian disampaikan dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: 
  1. Akta pendirian badan usaha (PT atau koperasi) termasuk perubahan anggaran dasar terakhir yang telah disahkan oleh instansi berwenang. 
  2. Data anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS
  3. Data pemegang saham atau anggota pendiri:
  4. Fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor
  5. Struktur organisasi yang memuat susunan personalia yang paling sedikit memiliki fungsi pemutus pinjaman, Penaksir, pelayanan Nasabah, dan administrasi
  6. Rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama 
  7. Bukti kesiapan operasional (kepemilikan atau penguasaan gedung dan kantor, inventaris peralatan kantor, contoh surat bukti gadai dan formulir yang digunakan)
  8. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan pergadaian
  9. Bukti setor pelunasan biaya perizinan
  10. Bukti sertifikat Penaksir yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi atau pihak lain yang ditunjuk OJK sebagai lembaga penerbit sertifikasi penaksir
  11. Surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, bagi perusahaan pergadaian yang akan menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah 
  12. Pedoman penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. 

Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha sesuai lingkup wilayah usaha sebagai: 
  • Izin Usaha sebagai Perusahaan Pergadaian, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional; atau
  • Izin Usaha sebagai Perusahaan Pergadaian Syariah, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Badan hukum usaha gadai harus berbentuk PT atau koperasi (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 2)

Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah perseroan terbatas atau koperasi.

Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah melakukan kegiatan Usaha Pergadaian sebelum Peraturan OJK diundangkan, dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK dan dikecualikan dari ketentuan bentuk badan hukum, ketentuan lingkup wilayah usaha, dan ketentuan permodalan. 

3. Kepemilikan saham perusahaan pergadaian dilarang langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseorangan dan atau badan usaha milik asing (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 2 dan pasal 3)

Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh:

a. negara Republik Indonesia;
b. pemerintah daerah;
c. warga negara Indonesia; dan/atau
d. badan hukum Indonesia.

Perusahaan Pergadaian dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing, kecuali kepemilikan langsung maupun tidak langsung tersebut dilakukan melalui bursa efek.

4. Model disetor perusahaan pergadaian ditetapkan berdasarkan lingkup wilayah usaha yaitu kabupaten/kota atau provinsi. (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 4)

Jumlah Modal Disetor Perusahaan Pergadaian ditetapkan paling sedikit:

a. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau
b. Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi. 

Modal Disetor tersebut harus disetor secara tunai dan penuh atas nama Perusahaan Pergadaian pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. 

5. Lingkup kegiatan usaha perusahaan pergadaian meliputi : (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 13 ayat 1, 2 dan 3)
  • Penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai;
  • Penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia;
  • Pelayanan jasa titipan barang berharga; dan/atau
  • Pelayanan jasa taksiran.
  • kegiatan lain yang tidak terkait Usaha Pergadaian yang memberikan pendapatan berdasarkan komisi (fee based income) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan; dan/atau
  • Kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK.
  • Kegiatan usaha tersebut di atas dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
6. Jangka waktu peminjaman dengan jaminan (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 24)

Jangka waktu pinjaman kepada Nasabah dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai paling lama 4 (empat) bulan. Dalam hal uang pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai belum dilunasi sampai Dengan tanggal jatuh tempo, Perusahaan Pergadaian dapat melelang Barang Jaminan.

7. Kewajiban – kewajiban yang harus dilaksanakan perusahaan pergadaian

Perusahaan Pergadaian wajib mencantumkan informasi secara jelas di setiap kantor atau unit layanan (outlet) hal sebagai berikut: (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 16)
  • Nama dan/atau logo Perusahaan Pergadaian; 
  • Nomor dan tanggal izin usaha dan pernyataan bahwa Perusahaan Pergadaian diawasi oleh OJK; 
  • Hari dan jam operasional; dan 
  • Tingkat bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dan biaya administrasi. 
POJK diterbitkan dengan mengedepankan azas keterbukaan dan perlindungan bagi masyarakat.

POJK memang tidak mengatur besaran suku bunga usaha jasa gadai, namun OJK mewajibkan pelaku usaha gadai untuk mencantumkan besaran bunga gadai yang dikenakan di konter (gerai) jasa gadai sehingga masyarakat dapat memilih terlebih dahulu sebelum menggadaikan barangnya.

Perusahaan Pergadaian wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Penaksir untuk melakukan penaksiran atas Barang Jaminan pada setiap unit pelayanan (outlet). Penaksir harus lulus sertifikasi penaksiran Barang Jaminan. (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 19)

Perusahaan Pergadaian wajib memberikan nilai taksiran atas setiap Barang Jaminan kepada Nasabah. Dalam rangka memenuhi kualitas penaksiran Barang Jaminan, Perusahaan Pergadaian wajib menyediakan alat penaksir dan menetapkan daftar harga pasar barang jaminan dengan nilai yang wajar. (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 20)

Perusahaan Pergadaian wajib memenuhi nilai minimum perbandingan antara uang pinjaman dan nilai taksiran barang jaminan dalam memberikan uang pinjaman kepada nasabah, kecuali apabila nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki uang pinjaman yang lebih rendah. (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 21)

Perusahaan Pergadaian wajib memiliki tempat penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan. Perusahaan Pergadaian wajib mengasuransikan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan dalam rangka memitigasi risiko. (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 22 ayat 1,2,3)

Perusahaan Pergadaian wajib menyerahkan Surat Bukti Gadai kepada nasabah pada saat menerima Barang Jaminan. (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 23)

8. Sanksi bagi perusahaan pegadaian yang melanggar aturan

Perusahaan Pergadaian yang tidak memenuhi ketentuan Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa:
  • Peringatan;
  • Pembekuan kegiatan usaha;
  • Pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
  • Pencabutan izin unit usaha syariah bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan/atau
  • Pencabutan izin usaha.
Perusahaan pergadaian yang mendaftar akan mendapatkan fasilitas yang optimal dari pemerintah yaitu diberikan pelatihan manajemen pergadaian, diberikan kemudahan memperoleh sumber pendanaan, dipermudah menjalin kerjasama dengan perusahaan multifinance, dapat bergabung sebagai anggota asosiasi perusahaan pergadaian di Indonesia, perusahaan yang terdaftar dan memiliki izin juga dipublikasikan di website OJK sehingga masyarakat dapat memilih mengunakan perusahaan gadai yang telah terdaftar dan diawasi OJK.

Catatan : 

Pengertian Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah (POJK No.31/POJK.05/2016 Pasal 1). 

Dalam kitab undang – undang hukum perdata pasal 1150, yang dimaksud dengan Gadai adalah suatu hak yang diperoleh pihak yang mempunyai piutang (perusahaan gadai) atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan oleh pihak yang berhutang (nasabah) kepada pihak yang berpiutang. Pihak yang berhutang memberikan kekuasaan kepada pihak yang mempunyai piutang untuk memiliki barang bergerak tersebut apabila pihak yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat berakhirnya jangka waktu peminjamannya. 
Ketentuan dan Perizinan Penyelenggara Uang Elektronik berdasarkan  PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik

Ketentuan dan Perizinan Penyelenggara Uang Elektronik berdasarkan PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik

Latar belakang terbitnya peraturan (PBI) tentang Uang Elektronik (UE) 

Latar belakang perlunya diterbitkan peraturan terbaru tentang Uang Elektronik (UE) ini adalah :
  • Model bisnis UE yang makin bervariasi akibat perkembangan teknologi
  • Perlindungan konsumen
  • Kemudahan transaksi dan peningkatan kebutuhan masyarakat
  • Perlunya standar kondisi keuangan yang baik bagi penyelenggara uang elektronik
  • Keterkaitan uang elektronik dengan kegiatan bisnis lain dan kompleksitas bisnis suatu entitas atau kelompok bisnis yang sama
  • Disparitas kinerja penyelenggara berizin dan makin beragamnya pihak yang mengajukan permohonan izin uang elektronik.

Ketentuan dan Perizinan Penyelenggara Uang Elektronik

Pengertian Uang Elektronik ? (berdasarkan PBI No. 20/6/PBI/2018 Pasal 1 ayat 3)

Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut:

a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan
c. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.

Yang dimaksud Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana.

Uang elektronik (UE) yang diterbitkan di Indonesia wajib menggunakan satuan uang rupiah dan transaksi mengunakan UE di wilayah NKRI Indonesia wajib menggunakan rupiah.

Berdasarkan lingkup penyelenggaraannya, Uang Elektronik (UE) dibedakan menjadi sebagai berikut:

a. Closed loop

yaitu Uang Elektronik yang hanya dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut.

Uang elektonik close loop ini hanya berlaku untuk membayar barang dan jasa yang disediakan oleh penerbit uang elektronik tersebut.
Contoh : CGV blitz card, starbuck card dan timezone card.

b. Open loop

yaitu Uang Elektronik yang dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang bukan merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut.

Disini uang elektronik yang diterbitkan menjadi multi fungsi sehingga dapat digunakan oleh pengguna untuk membeli berbagai barang dan jasa dari pihak yang bukan penerbit UE tersebut. 

Contoh : BukaDompet (Bukalapak), TokoCash (Tokopedia), Go-Pay (Gojek), E-Money (Bank Mandiri), dll. Elektronik money open loop ini dapat digunakan untuk membayar di gerbang tol, bayar tagihan listrik, bayar parkir, membeli makanan, telepon, pulsa, tiket pesawat, dll.

Uang elektronik tersebut diatas kemudian dapat dibedakan lebih lanjut berdasarkan :

a. Media penyimpanan nilai uang elektronik, berupa :

- Uang elektronik server based, yaitu Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa server. Contoh produk Uang Elektronik (UE) Server Based :
- XL - XL Tunai
- Indosat - Paypro
- Telkomsel – Tcash
- Finnet – Finpay
- PT Nusa Satu Inti Artha – Doku
- PT Visionet Internasional – OVO
- PT Veritra Sentosa International - Paytren

- Uang elektronik chip based, yaitu Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa chip. Contoh produk Uang Elektronik (UE) Chip Based :
- Bank Mandiri – E-money dan E-Toll
- BCA - Flazz
- Bank Mega - Mega Cash
- BRI - Brizzi
- Bank DKI - Jakcard
- BNI - TapCash

b. Pencatatan data identitas pengguna, berupa:

- Unregistered, yaitu Uang Elektronik yang data identitas penggunanya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada Penerbit.

- Registered, yaitu Uang Elektronik yang data identitas penggunanya terdaftar dan tercatat pada Penerbit.

Batas nilai maksimal uang elektronik (saldo) yang dapat disimpan pada uang elektronik ditetapkan sebagai berikut :

a. Untuk UE Unregistered paling banyak Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) dan
b. Untuk UE registered paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)

dengan batas nilai transaksi UE dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) yang diperhitungkan dalam transaksi incoming. Termasuk transaksi yang bersifat incoming antara lain setoran awal, transfer dana masuk, dan/atau Pengisian Ulang (Top Up).

Peningkatan batas nilai UE unregistered dari semula paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) menjadi Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dilakukan dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan pengguna UE unregistered untuk transaksi pembayaran dengan nilai yang lebih tinggi dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) kali transaksi dengan tetap memperhatikan aspek keamanan transaksi serta anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Salah satunya adalah dengan adanya kewajiban mengggunakan kartu uang elektronik untuk pembayaran di jalan tol. Yaitu bagi supir truk yang membawa barang jarak jauh dari luar jawa ke jawa dan pengendara lain yang rutin menggunakan jalan tol. Jadi mereka ini lebih efisien dan tidak perlu sering – sering mengisi ulang (top up) uang elektroniknya.

Nasabah tentunya harus menjaga UE dengan baik karena dengan tambahan batas saldo tentu akan meningkatkan resiko. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan stiker atau personalisasi pada kartu UE sehingga dapat dikenali dan tidak mudah ditukar oleh petugas penerima pembayaran yang nakal. Perlakuan uang elektronik sama seperti uang kertas atau uang logam. Jadi pengguna bertanggung jawab atas kartu UE yang dimilikinya, termasuk untuk menjaganya dari risiko kehilangan. 


Apakah penerbit dapat menambahkan penerapan standar keamanan transaksi berupa otentifikasi 2 (dua) faktor untuk UE yang memiliki batas nilai UE di atas Rp 2.000.000,- ?

Dengan tetap memperhatikan efisiensi dan kenyamanan penggunaan UE oleh pengguna, penerbit dapat menambahkan fitur keamanan tambahan pada otentifikasi 2 (dua) faktor. Misalnya, selain menerapkan PIN (personal Identification Number) penerbit dapat pula mewajibkan penggunaan OTP (One Time Password) untuk transaksi pembayaran tertentu.

Pengelompokan izin Penyelenggaraan Jasa Sistem Pembayaran

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah pihak - pihak yang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran. Berdasarkan karakter bisnis dan jenis resiko, penyelenggaraan Jasa Sistem Pembayaran dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok. Yaitu :

a. Kelompok Penyelenggara Front End, terdiri atas izin sebagai penerbit, acquirer, penyelenggara payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam kelompok ini menyediakan layanan kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau jasa (business to customer) yang ditunjukkan dengan adanya hubungan secara langsung dan bertanggung jawab kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau jasa tersebut (customer oriented) atas setiap layanan jasa sistem pembayaran yang disediakan

b. Kelompok Penyelenggara Back End, terdiri atas izin sebagai prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir.

Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam kelompok ini menyediakan layanan jasa sistem pembayaran kepada sesama penyelenggara jasa sistem pembayaran seperti penerbit dan atau acquirer (business to business) serta tidak memiliki hubungan secara langsung dengan pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau jasa.

Apakah 1 (satu) entitas dapat mengajukan atau memiliki lebih dari 1(satu) jenis izin sebagai penyelenggara ?

1 (satu) entitas dapat mengajukan atau memiliki lebih dari 1 (satu) jenis izin sepanjang izin tersebut merupakan izin dari kelompok Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang sama. Sedangkan jika 
1 (satu) perusahan tersebut mengajukan izin untuk dua kelompok perizinan yang berbeda (yaitu sebagai penyelenggara Front end dan Back end) maka hal ini tidak di perbolehkan. Hal ini dilakukan agar penyelenggara fokus pada bidang bisnisnya dan untuk menghindari praktek monopoli.

Contoh :
Misalnya PT A yang telah memiliki izin sebagai penerbit UE, mengajukan izin juga sebagai acquirer. Hal ini dibolehkan karena berada pada 1 (satu) kelompok penyelenggara jasa sistem pembayaran yang sama (kelompok front end). Namun ketika ia mengajukan izin untuk juga sebagai switching atau settlement, hal itu tidak dibolehkan karena berada pada kelompok penyelenggara jasa sistem pembayaran yang berbeda (kelompok back end).


Persyaratan Perizinan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran

Setiap pihak yang bertindak sebagai penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia, terkecuali bagi pihak yang bertindak sebagai penyelenggara berupa penerbit uang elektronik close loop dengan jumlah dana float(floating fund) kurang dari Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)

Pihak yang mengajukan permohonan izin untuk menjadi penyelenggara harus memenuhi persyaratan umum dan aspek kelayakan.

Persyaratan umum

Berdasarkan PBI No. 20/6/PBI/2018 ini, Pihak yang mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara harus  berupa bank atau lembaga Selain Bank (SLB) yang berbentuk perseroan terbatas. Mayoritas anggota direksi Lembaga Selain Bank (LSB) tersebut juga harus berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewajiban berdomisili di Indonesia ini untuk memastikan prinsip – prinsip penyelenggaraan UE berjalan optimal dan memudahkan koordinasi dengan Bank Indonesia dari segi pengawasan dan pemahaman atas kebijakan BI terkait sistem pembayaran.

Lembaga Selain Bank (LSB) yang mengajukan izin sebagai penerbit UE harus memenuhi persyaratan modal disetor minimum dan komposisi kepemilikan saham. Komposisi kepemilikan saham Lembaga Selain Bank (LSB) harus paling sedikit 51% Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia. Artinya porsi pemegang saham asing tidak boleh lebih dari 49%.  

Apakah ada batasan bagi setiap pihak untuk menjadi pemilik saham pengendali pada lebih dari 1 (satu) LSB yang memiliki izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran ?

Berdasarkan PBI No. 20/6/PBI/2018 Pasal 31 ayat 1 dan 2,  Setiap pihak (perseorangan maupun badan hukum bukan bank) dilarang menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari 1 (satu) Lembaga Selain Bank yang masing-masing memiliki izin Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang sama ataupun yang berbeda. Hal ini ditetapkan untuk perlindungan konsumen, peningkatan tata kelola yang baik dan menjaga tingkat persaingan usaha yang sehat.

Perusahaan (Lembaga Selain Bank - LSB) yang mengajukan ijin sebagai penerbit uang elektronik harus memiliki modal disetor minimal Rp 3 miliar saat pertama mengajukan izin. Ketentuan modal disetor dimaksudkan untuk kepastian keamanan konsumen atas dana yang sudah mereka tempatkan di uang elektronik. Dengan pembatasan ini dana pengguna aman dan tidak di ganggu gugat oleh perusahaan penyedia layanan. Sehingga untuk ekspansi dan pengembangan layanan, perusahaan penyedia uang elektronik harus mempunyai modal sendiri. Yaitu wajib modal disetor tersebut.

Selain itu besaran modal yang wajib disetor juga akan meningkat berdasarkan nilai dana float (floating fund). 

Dana Float adalah seluruh nilai Uang Elektronik yang berada pada Penerbit atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau Pengisian Ulang (Top Up) yang masih merupakan kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa. Ringkasnya, akumulasi dari seluruh dana penguna UE yang mengendap dan belum digunakan konsumen. Dana Float hanya dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain.

Bila nilai dana float (floating fund) meningkat jadi Rp 3 – 5 miliar, maka modal disetor ditetapkan sebesar Rp 6 miliar. Bila nilai dana float (floating fund) naik menjadi Rp 5 – 9 miliar maka modal disetor menjadi 10 miliar. Sementara bila nilai dana flot (floating fund) lebih dari 9 miliar maka modal disetor harus sebesar Rp 10 miliar ditambah 3% dari nilai dana float (floating fund).

Rata-rata nilai Dana Float dihitung berdasarkan data rata-rata Dana Float selama 12 (dua belas) bulan pada tahun sebelumnya yaitu sejak bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Bagi Penerbit yang pertama kali beroperasi setelah bulan Januari maka rata-rata nilai Dana Float untuk pertama kalinya dihitung berdasarkan data rata-rata Dana Float tahun sebelumnya yaitu sejak bulan pertama Penerbit beroperasi sampai dengan bulan Desember.

Aspek kelayakan

Setiap pihak yang mengajukan izin sebagai penyelenggara juga wajib memenuhi aspek kelayakan yang meliputi (1) aspek kelembagaan dan hukum, (2) aspek kelayakan bisnis dan kesiapan operasional, dan (3) tata kelola, risiko dan pengendalian.

Selain memenuhi aspek kelayakan, bank dan lembaga selain bank (LSB) yang mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara juga harus menyampaikan pernyataan dan jaminan (representation and warranties) yang diajukan dan ditandatangani oleh direksi bank atau LSB. Kemudian pemohon juga harus melengkapinya dengan pernyataan dari konsultan hukum yang independen dan profesional berdasarkan hasil uji tuntas dari segi hukum (legal due diligence).


Penempatan Dana Float (Floating Fund)

Untuk melindungi uang masyarakat yang tersimpan dalam UE, maka 70% floating fund dalam uang elektronik wajib ditempatkan di surat berharga atau instrumen keuangan yang diterbitkan oleh pemerintah atau BI.

Jadi dana mengendap (floating fund) 70% harus ditempatkan di SBN atau disimpan di rekening Bank Indonesia. Sedangkan untuk 30% sisanya, untuk bank BUKU 4, 30% floating fund bisa ditempatkan di kas penerbit sendiri. Sementara bank non BUKU 4 dan lembaga keuangan non bank bisa menempatkan 30% floating fundnya di rekening giro di bank BUKU 4.

Beberapa bank yang masuk kategori BUKU 4 di Indonesia adalah bank mandiri, BRI, BNI dan BCA.

Kenapa floating fund hanya bisa ditempatkan di instrumen penyimpanan tersebut?

Ini karena floating fund hanya bisa ditempatkan di instrumen yang aman, likuid dan jangka pendek. Sehingga dana masyarakat yang tersimpan dan mengendap dalam bentuk UE tetap aman dan bisa digunakan sesuai kebutuhan. Jadi meskipun perusahaan UE bangkrut, uang masyarakat yang mengendap di sana tetap aman karena ditempatkan di instrumen yang aman. 

Adanya holding period selama 5 (lima) tahun

Berdasarkan PBI No. 20/6/PBI/2018 Pasal 60, Penyelenggara berupa Lembaga Selain Bank dilarang melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan berubahnya pemegang saham pengendali penyelenggara selama 5 (lima) tahun sejak izin pertama kali diberikan kecuali dalam kondisi tertentu dan memperoleh persetujuan Bank Indonesia.

Artinya pemegang izin tidak boleh berpindah lini bisnis atau menyerahkan izinnya kepada perusahaan lain selama 5 tahun. Hal ini agar perusahaan yang telah mendapatkan izin tidak sekedar menjadi makelar izin dan tidak memperjual-belikan izin tersebut.


Pengawasan

Bank Indonesia juga melaksanakan fungsi pengawasan terhadap penyelenggara berupa pengawasan secara langsung dan tidak langsung. Pengawasan tidak langsung berupa permintaan laporan, dokumen, data, informasi, keterangan dan penjelasan sesuai permintaan Bank Indonesia. Sedangkan pengawasan langsung adalah Bank Indonesia melakukan pemeriksaan (on site visit) terhadap penyelenggara baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.

Demikianlah artikel Ketentuan Perizinan Penyelenggara Uang Elektronik yang berupa ringkasan atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik. Semoga bermanfaat, jika ada saran, koreksi atau tanggapan atas artikel tersebut silahkan memberikan komentar di kolom komentar yang tersedia. Terima kasih.

Sumber Referensi

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik

Frequently Asked Questions Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik.

Berbagai artikel tentang Uang Elektronik di Internet

Kelebihan, Kekurangan dan Biaya Menggunakan Uang Elektronik (UE)

Kelebihan, Kekurangan dan Biaya Menggunakan Uang Elektronik (UE)

Penggunaan uang elektronik sedang digalakkan di Indonesia dan penerapannya diperluas dari sektor konsumer retail ke sektor lainnya seperti transportasi dan infrastuktur. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia.

Pengertian Uang Elektronik (UE) 

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 20/6/PBI/2018 Pasal 1 ayat 3, Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut:

a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan
c. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.

Kelebihan, Kekurangan dan Biaya Uang Elektronik

Kelebihan menggunakan Uang Elektronik (UE) :

Terdapat banyak keuntungan penggunaan uang elektronik bagi masyarakat, yaitu :

1. lebih cepat dan mudah dalam melakukan transaksi pembayaran

Penggunaan teknologi seperti RFID (Radio Frequency Identification), NFC (Near Field Communication), Barcode, dll membuat penyelesaian transaksi pembayaran UE dapat dilakukan dalam beberapa detik saja. Prosedurnya pun mudah yaitu hanya dengan menempelkan atau mendekatkan kartu UE ke mesin reader maka transaksi pembayaran dapat dilakukan. Contoh : pembayaran saat naik transjakarta dan pembayaran di gerbang tol menggunakan UE menjadi lebih cepat (antrian lebih singkat).

2. Menghindari uang palsu, karena transaksi tercatat langsung secara elektronik

Bukan rahasia lagi jika banyak uang tunai yang dipalsukan, dengan UE maka anda terhindar dari resiko memperoleh uang palsu. Dengan demikian ruang lingkup peredaran uang palsu juga dapat semakin di tekan.

3. Tidak ada saldo minimal dan dapat digunakan tanpa nilai minimum transaksi

Nilai uang elektronik yang ada di dalamnya dapat digunakan sepenuhnya hingga saldo nol (0) dan anda dapat menggunakannya tanpa batasan nilai minimum transaksi tertentu.

4. Dapat terus digunakan dan di isi ulang selama kartu atau chip belum rusak

5. Lebih praktis, tanpa perlu membawa banyak tunai (uang kertas atau uang logam). 

Saat ini uang elektronik dapat di isi dengan saldo maksimal Rp 2.000.000, (dua juta rupiah) untuk UE yang data penggunanya tidak terdaftar (unregistered) dan dapat di isi maksimal Rp 10.000.000,- untuk UE yang data penggunanya terdaftar (registered). Bayangkan jika anda harus membawa uang tunai senilai yang sama di dompet atau saku anda, dengan UE maka dengan nilai uang yang sama dapat masuk ke dalam 1 kartu.

6. Uang eletronik dapat mudah dipindahtangankan tanpa harus registrasi ulang

7. Dapat digunakan tanpa memasukkan PIN dan tandatangan, layaknya uang kertas dan uang logam 

8. Dapat digunakan di mana saja, kapan saja dan untuk berbagai keperluan pembayaran

9. Dapat diandalkan dan aman

Sistem transaksi UE menggunakan jaringan komputerasi yang aman. Didukung oleh sistem front end, back end dan settlement dari berbagai lembaga pendukung yang sudah menerapkan standar keamanan data sehingga sulit untuk di tembus.

10. Melakukan transaksi pembayaran sesuai nilainya tanpa perlu menyediakan uang kembalian.

11. Tidak perlu memiliki rekening bank untuk memiliki dan top up uang elektronik

12. adanya tawaran menarik ketika bertransaksi misalnya potongan harga atau tarif, cash back dll.

Misalnya : pada waktu – waktu tertentu busway transjakarta memberikan diskon tarif yang dapat langsung digunakan dengan uang elektronik anda. 

13. dapat digunakan untuk mengkontrol pengeluaran dan budget

Hal ini efektif dilakukan untuk mengatur pengeluaran misalnya uang bensin, tol dan parkir (diberikan ke supir) atau pengalokasian pos belanja dengan nominal tertentu dalam 1 kartu UE. 

14. Tidak ada biaya administrasi bulanan. Jadi tidak perlu khawatir saldo UE anda berkurang.

Kekurangan menggunakan Uang Elektronik (UE) :

Terdapat beberapa kerugian dalam menggunakan uang elektronik, yaitu :

1. Uang eletronik ini tidak diberikan bunga dan tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

2. Layaknya uang tunai, jika kartu UE hilang, maka uang elektronik didalamnya bisa hilang.

Uang elektronik tidak dilengkapi dengan PIN dan tidak ada data pemilik pada kartunya sehingga dapat langsung digunakan oleh siapa saja yang menemukannya. Jika ini terjadi, pengguna tidak bisa melakukan klaim atau pemblokiran kepada penerbit UE.

3. Sulitnya mengecek saldo UE (misal : saat berada di jalan tol, tentu sulit berhenti dan mengecek saldo UE. )

4. Jumlah merchant yang menerima transaksi dengan uang elektronik belum banyak dan merata di seluruh pelosok Indonesia.


Biaya – biaya dalam menggunakan Uang Elektronik (UE) :

Biaya yang dapat dikenakan dalam penyelenggaraan UE oleh penerbit UE meliputi :

1. Biaya pembelian media UE untuk penggunaan pertama kali atau penggantian media UE yang rusak atau hilang.

Biaya ini adalah biaya yang dikenakan ketika anda membeli kartu uang elektronik untuk pertama kalinya. baik ketika membeli di bank penerbit ataupun di tempat penjualan starter pack (perdana) UE seperti di supermarket. Biaya nya beragam mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 20.000 per kartu. Jadi misalnya anda membayar pembelian kartu UE perdana Rp 40.000 maka isi saldo didalamnya adalah Rp 20.000. hal ini karena adanya biaya pembelian kartu perdana tersebut Rp 20.000.

Namun biaya pembelian kartu UE perdana ini dapat lebih tinggi lagi yaitu ketika bank menerbitkan kartu UE edisi khusus dengan jumlah terbatas. Dalam hal ini harga jual kartu perdana UE tersebut juga dapat lebih tinggi karena ada nilai koleksinya yaitu dari segi desain kartu nya yang unik dan spesial.

2. Biaya pengisian ulang (top up)

Biaya pengisian ulang (top up) uang elektronik (UE) diatur Berdasarkan Peraturan Anggota Dewan gubernur Nomor 19/10 /PADG/2017 Tanggal 20 September 2017 Tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway). Peraturan tersebut berlaku efektif per 20 oktober 2017. Skema harga top up berlaku untuk uang elektronik chip based. 

Adapun biaya yang dikenakan adalah sebagai berikut: 

a) biaya Top Up On Us. Transaksi top up on us merupakan transaksi top up UE yang dilakukan melalui kanal pembayaran Penerbit yang sama (melalui jaringan pembayaran milik penerbit UE). Untuk Top Up On Us dengan nominal dibawah Rp 200.000 tidak dikenakan biaya sedangkan untuk top UE dengan nominal diatas Rp 200.000 dikenakan maksimal Rp 750 per transaksi.

Kebijakan biaya top up ini merupakan pengaturan batas atas yang di atur oleh Bank Indonesia agar terdapat kepastian hukum, untuk pelaksanaannya tergantung bank penerbit UE. Bisa saja bank penerbit tidak mengenakan biaya apapun atas top up UE tersebut.

b) biaya Top Up Off Us. Transaksi top up off us merupakan transaksi top up yang dilakukan melalui pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau menggunakan kanal pembayaran pihak lain. Contohnya ketika mengisi ulang Uang Elektronik di minimarket anda akan dikenakan biaya ini.  Adapun besarnya tarif top up off us uang elektronik (UE) adalah Rp 1.500 per transaksi.

3. Biaya tarik tunai yang dilakukan melalui pihak lain atau kanal pihak lain (off us)

(Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik pasal 52 ayat 1 penerbit UE dapat mengenakan biaya ini kepada pengguna, namun untuk informasi besaran biaya transaksi ini penulis belum mendapatkan, ketika informasi tersebut tersedia artikel ini akan di update)

4. Biaya transaksi transfer dana antar pengguna pada UE dari penerbit yang berbeda.

(Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik pasal 52 ayat 1 penerbit UE dapat mengenakan biaya ini kepada pengguna, namun untuk informasi besaran biaya transaksi ini penulis belum mendapatkan, ketika informasi tersebut tersedia artikel ini akan di update)

Demikianlah artikel Kelebihan, kekurangan dan biaya menggunakan uang elektronik (UE). Dapat dilihat di atas begitu banyaknya manfaat penerapan uang elektronik bagi masyarakat oleh karena itu program ini perlu kita dukung bersama. Kemudian jika ada saran, masukan ataupun hal lain yang ingin di tambahkan tentang artikel diatas silahkan anda dituangkan di kolom komentar. Terima kasih.

Sumber Referensi :

Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik

Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG/2017 Tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway)

Website Bank Indonesia www.bi.go.id

Rangkuman berbagai artikel di Internet

Tujuan dan Manfaat Local Currency Settlement (LCS) Framework

Tujuan dan Manfaat Local Currency Settlement (LCS) Framework

Pada tanggal 11 desember 2017, Bank Indonesia (BI) menandatangani kesepakatan kerjasama dengan Bank Negara Malaysia (BNM) dan Bank of Thailand (BOT) terkait penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Thailand (Local Currency Settlement (LCS) Framework). Kesepakatan kerjasama ini berlaku efektif mulai tanggal 2 januari 2018.

Local Currency Settlement (LCS) Framework

Apa itu Local Currency Settlement (LCS) Framework ?

Local Currency Settlement (LCS) framework adalah kesepakatan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Malaysia dan Thailand untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal yaitu rupiah, ringgit dan baht dalam transaksi pembayaran barang dan jasa antara Indonesia, Malaysia dan Thailand. Pada LCS penyelesaian transaksi perdagangan antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing – masing negara dimana setelmen transaksinya dilakukan di dalam yuridiksi wilayah negara masing – masing.

Contoh : penyelesaian transaksi perdagangan Indonesia dan Malaysia dapat dilakukan dalam mata uang rupiah, namun setelmen transaksi rupiah tetap dilakukan di Indonesia. Sebaliknya jika transaksi perdagangan Indonesia dan Malaysia dilakukan dalam mata uang ringgit, maka setelmen transaksi tersebut dilakukan di Malaysia.

Latar belakang LCS

Kerjasama ini dilakukan untuk mendorong penggunaan mata uang lokal (rupiah, ringgit dan baht) secara lebih luas untuk setelmen perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Thailand. 

Hal ini juga didasarkan pada telah terjalinnya hubungan perdagangan yang baik selama ini. Thailand dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar mitra dagang utama Indonesia. Di sisi impor, Malaysia dan Thailand merupakan negara asal impor Indonesia kelima dan ke enam terbesar.

Tujuan Local currency settlement (LCS) Framework

Terdapat beberapa tujuan yang hendak di capai atas kerjasama LCS ini, yaitu :

1. Meningkatkan hubungan perdagangan bilateral antara Indonesia – Malaysia – Thailand.

Total perdagangan antar tiga negara ini (Indonesia, Malaysia dan Thailand) selama 5 tahun terakhir tercatat USD 1,2 triliun atau setara dengan Rp 1.620 triliun atau sekitar 50 persen dari total perdagangan ASEAN.

Berdasarkan data perdagangan 3 tahun terakhir antara Indonesia dan Thailand, tercatat rata – rata impor Indonesia dari Thailand mencapai USD 10 miliar atau 5,7 persen dari keseluruhan impor dari mitra dagang Indonesia. Sedangkan ekspor Indonesia ke Thailand rata – rata mencapai USD 5,9 miliar atau 3,4 persen dari keseluruhan (total) ekspor ke mitra dagang Indonesia.

Sedangkan data perdagangan dengan Malaysia 3 tahun terakhir tercatat, rata - rata impor adalah USD 11,5 miliar atau 6,6 persen dari keseluruhan impor dari mitra dagang Indonesia. Sedangkan rata – rata ekspor Indonesia ke Malaysia mencapai USD 9,6 miliar atau 5,5 persen dari total ekspor ke mitra dagang Indonesia.

Dari data ekspor dan impor di atas penggunaan mata uang baht dalam transaksi impor dari Thailand hanya USD 0,28 miliar atau 0,2 persen dari keseluruhan pembayaran impor Indonesia. Sedangkan penggunaan ringgit dalam transaksi impor dari Malaysia hanya USD 0,44 miliar atau 0,3 persen dari keseluruhan pembayaran impor Indonesia.

Dengan adanya kerjasama LCS framework ini diharapkan perdagangan bilateral Indonesia – Malaysia – Thailand semakin meningkat baik dari nilai ekspor – impor maupun dalam penggunaan mata uang lokal sebagai instrumen penyelesaian transaksi perdagangan.

2. Mendorong pendalaman pasar keuangan dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar amerika.

Harapannya dari kerja sama LCS framework ini, mata uang lokal (rupiah, ringgit dan baht) dapat lebih sering digunakan oleh masyarakat dalam perdagangan ekspor impor sehari – hari. Sehingga ketergantungan negara terhadap mata uang amerika (USD) dalam perdagangan bilateral dapat dikurangi. Hal ini kedepannya dapat membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.

3. Menjaga dan meningkatkan stabilitas sistem keuangan negara

Pada dasarnya negara perlu mendiversifikasikan risiko yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangannya. Salah satunya yang berhubungan dengan pengelolaan hutang, investasi ataupun perdagangan menggunakan valuta asing. Diversifikasi ini merupakan kebijakan strategis agar perekonomian Indonesia tetap stabil terhadap gangguan atau volatilitas yang terjadi pada mata uang negara tertentu.

Siapa yang di untungkan dengan adanya Kerjasama LCS ini?

Dari kerjasama peningkatan penggunaan mata uang lokal ini, pelaku bisnis di negara tersebut di untungkan seperti pelaku bisnis individu, perusahaan tunggal, perusahaan kemitraan dan perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor barang dan jasa.

Manfaat dari kerjasama LCS 

Terdapat beberapa manfaat dari kerjasama Local Currency Settlement (LCS) ini yaitu :

1. Transaksi perdagangan antar negara menjadi lebih cepat, efisien dan murah

Pelaku usaha ekspor impor dapat langsung menukar mata uang nya pada bank lokal yang ditunjuk  ke mata uang negara tujuan (misal menukar dari rupiah ke ringgit) tanpa terlebih dahulu membeli valuta asing dolar amerika (USD). Hal ini mempersingkat tahapan dan mengurangi biaya dalam penyelesaian transaksi perdagangan. Dari sebelumnya pelaku usaha terkena biaya spread mata uang dua kali yaitu saat menukar rupiah (IDR) ke dolar amerika (USD) dan kemudian saat menukar kembali dolar amerika ke ringgit (MYR). Menjadi langsung menukar rupiah (IDR) yang di miliki ke ringgit (MYR) tanpa perlu menukarnya ke dolar amerika (USD) terlebih dahulu, sehingga hanya dikenakan biaya satu kali spread mata uang.

2. Meningkatkan kemudahan berbisnis (the easy of doing business) antar negara

Melalui kerjasama ini, entitas di Indonesia dapat memperoleh berbagai layanan jasa keuangan dalam mata uang ringgit atau baht seperti deposit, pembiayaan dan hedging valuta asing melalui bank yang di tunjuk sebagai pelaksana LCS di Indonesia (setelmen dilakukan di negara sendiri). Sebaliknya entitas di Malaysia atau Thailand dapat memperoleh layanan jasa keuangan tersebut diatas dalam mata uang rupiah melalui bank yang ditunjuk sebagai pelaksana LCS di Malaysia atau Thailand (setelmen dilakukan di negaranya sendiri).


Bagaimana implementasi dari LCS Framework

Berdasarkan kerjasama ini Bank Indonesia, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand telah menunjuk beberapa bank (Appointed Cross Currency Dealer, ACCD) yang memiliki kriteria kualifikasi utama untuk memfasilitasi transaksi bilateral.

Bank – bank yang ditunjuk tersebut antara lain memenuhi kriteria sebagai bank yang berdaya tahan dan sehat di setiap negara, permodalan yang kuat, memiliki pengalaman dalam memfasilitasi perdagangan antar kedua negara, memiliki hubungan bisnis dengan bank di kedua negara, dan memiliki basis konsumen dan kantor cabang yang luas di negara asal (home country).

Appointed Cross Currency Dealer (ACCD) adalah bank yang ditunjuk oleh otoritas kedua negara untuk memfasilitasi pelaksanaan LCS melalui pembukaan rekening mata uang negara mitra di masing – masing negara.
Daftar bank ACCD dari Indonesia yang melayani LCS adalah PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk, PT Bank Mandiri (persero) Tbk, BNI, BCA, Bank CIMB Niaga dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk.

Sementara ini bank Indonesia hanya menunjuk ke enam bank tersebut untuk melayani framework LCS kedepannya akan diperluas.

Adapun bank ACCD dari Malaysia, bank yang melayani LCS adalah CIMB bank berhad, Malayan banking berhad, Hong leong bank berhad, Malayan banking berhad, Public bank berhad, RHB bank berhad, Bank of tokyo – mitsubishi UFJ Malaysia berhad, dan united overseas bank berhad.

Sedangkan bank ACCD dari Thailand, bank yang melayani LCS adalah bangkok bank PCL, Bank of Ayudhya PCL, Kasikorn bank PCL, Krungthai bank PCL, Siam commercial bank PCL, CIMB thai dan UOB thai PCL.

Pengaturan operasional bank ACCD di Indonesia

Dalam melakukan operasionalisasi sebagai ACCD, bank di Indonesia berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.19/II/PBI/2017 mengenai penyelesaian transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal (local currency settlement) melalui bank. PBI tersebut telah diterbitkan pada tanggal 2 oktober 2017 yang mulai berlaku pada tanggal 2 januari 2018. Dan PADG ekstern tentang penyelesaian transaksi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Thailand, antara Indonesia dan Malaysia.

Selain itu bank ACCD tersebut dalam melakukan kegiatannya dan transaksi yang terkait dengan LCS juga tunduk pada guideline yang ditetapkan oleh bank sentral di negara mitra.

Acuan kurs yang di gunakan

Bank yang ditunjuk diharuskan untuk menyediakan kuotasi kurs jual dan beli harian (daily rate) mata uang antara Indonesia rupiah dengan Malaysia ringgit, atau Indonesia rupiah dengan Thailand baht secara langsung. Kurs valuta asing ini mengacu pada data dari reuters atau bloomberg.

Sumber referensi:

Website Bank Indonesia
Sesi Tanya - Jawab – Local Currency Settlement (LCS) berbasis Appointed Cross Currency Dealers (ACCD)
Intisari dari artikel di Internet
Pengertian, Tujuan dan Manfaat Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway)

Pengertian, Tujuan dan Manfaat Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway)

Bank Indonesia tertanggal 21 juni 2017 telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional – GPN (National Payment Gateway - NPG). Melalui PBI ini akan ditata infrastruktur, instrumen kelembagaan, dan mekanisme sistem pembayaran dalam mewujudkan ekosistem pembayaran nasional.

Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) adalah sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional.

Latar belakang

Penerapan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki penduduk di atas 250 juta jiwa sangatlah penting. Berdasarkan statistik sistem pembayaran BI per mei 2017, penggunaan kartu sebagai alat pembayaran (APMK) yaitu kartu ATM dan kartu debet tercatat 137,2 juta keping kartu dengan jumlah transaksi harian mencapai 11 sampai 14 juta transaksi per hari. kemudian 80% transaksi pembayaran tersebut dilakukan di dalam negeri sedangkan sisanya 20% transaksi dilakukan di luar negeri. 

Melihat betapa besarnya transaksi pembayaran yang terjadi setiap harinya dan ratio komposisi transaksi pembayaran tersebut sudah seharusnya proses transaksi pembayaran dilakukan di dalam negeri.

Kemudian saat ini (2017) kondisi ekosistem pembayaran ritel domestik di Indonesia sudah sangat kompleks dan terfragmentasi karena berbagai sistem pembayaran yng ada masih belum saling terkoneksi dan interoperabilitas. Melalui penyelenggaraan GPN, secara bertahap hal ini akan diperbaiki sehingga instrumen pembayaran (kartu atm dan atau kartu debet, kartu kredit, uang elektronik dll) dan kanal pembayaran (kanal ATM, EDC, agen, paymen gateway, dll) di Indonesia akan saling interkoneksi dan interoperabilitas. 

Tujuan pembentukan Gerbang Pembayaran Nasional – GPN (National Payment Gateway - NPG) :
  • Membangun sistem pembayaran nasional yang saling terhubung, interoperabilitas dan memiliki kapabilitas untuk memproses transaksi pembayaran domestik secara optimal, aman dan efisien.
  • Sebagai sistem pendukung (backbone) strategis atas program pemerintah (G2P) seperti penyaluran bansos non-tunai, peningkatan penerimaan negara berbasis elektronik (P2G) non-tunai, elektronifikasi jalan toll (e-toll) dan sistem transportasi, mendukung e-commerce serta meningkatkan kinerja inklusif.
  • Mendorong peningkatan transaksi non tunai oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan program Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT).
  • Mewujudkan kedaulatan sistem pembayaran nasional

Manfaat adanya Gerbang Pembayaran Nasional – GPN (National Payment Gateway - NPG) :

Biaya investasi ATM, EDC dan sistem back end lebih murah
Seluruh infrastruktur yang mendukung sistem pembayaran akan terhubung dan interoperabilitas. Melalui GPN ini mesin ATM dan EDC di pusat perdagangan dapat digunakan bersama oleh bank atau penyelenggara sistem pembayaran sehingga jumlah mesinnya lebih sedikit dan menekan biaya investasi. Biaya investasi mesin ATM dan EDC tersebut kemudian dapat di sharing bersama bank lainnya.

Biaya memproses transaksi domestik lebih efisien
Penerapan GPN mencakup pembentukan ekosistem proses transaksi pembayaran domestik yang saling terhubung antar jaringan (interconnecting switching). Selama ini seluruh transaksi pembayaran dalam negeri menggunakan kartu kredit dan debet di proses menggunakan jasa sistem pembayaran nasional (atm bersama, alto, prima, cirrus) dan sistem pembayaran asing (visa, mastercard, american express) yang masing – masing memiliki sistem tersendiri. Bahkan dengan menggunakan sistem pembayaran asing, transaksi pembayaran domestik di proses di luar negeri baru kemudian dikembalikan ke dalam negeri. Penggunaan jasa sistem pembayaran luar negeri tersebut dikenakan biaya dari setiap transaksinya. Sedangkan dengan adanya GPN yang seluruh proses pembayarannya di lakukan di Indonesia maka tidak perlu pembayaran fee ke luar negeri.
Dengan Adanya Gerbang Pembayaran Nasional seluruh transaksi domestik di proses di Indonesia dengan menggunakan infrastruktur yang ada di Indonesia. Namun untuk transaksi pembayaran yang dilakukan di luar negeri masyarakat indonesia masih harus menggunakan jasa sistem pembayaran asing tersebut.

Data masyarakat terlindungi
Data transaksi masyarakat akan disimpan dengan aman oleh lembaga nasional yang infrastrukturnya berada di Indonesia. Salah satu persyaratan menjadi lembaga switching adalah minimal 80% kepemilikan saham dimiliki oleh WNI atau badan hukum Indonesia.

Biaya transaksi, cek saldo, tarik tunai dan transfer antar bank lebih murah
Penerapan GPN mambuat sistem pembayaran nasional lebih efektif dan efisien (seperti telah dijelaskan point di atas) sehingga dampak positif langsung dirasakan oleh masyarakat. Contohnya: saat ini biaya tarik tunai menggunakan jaringan atm bersama dikenakan biaya RP 7.500,-, cek saldo Rp 4.000,- dan biaya transfer online antar bank Rp 6.500,-. Dengan sistem GPN seluruh infrastruktur dan sistem sudah terkoneksi dan interoperabilitas serta penerapan sharing biaya investasi sehingga biaya – biaya tersebut diatas dapat diturunkan lebih murah lagi.

Dalam PBI tersebut diatur pihak penyelenggara GPN dan pihak yang terhubung dengan GPN sedangkan Bank Indonesia (BI) bertindak sebagai pengawas sistem pembayaran. Adapun Penyelenggara Gerbang Pembayaran Nasional adalah : 

1. Lembaga Standar
Lembaga standar ini berbadan hukum dan memiliki kompetensi untuk menyusun, mengembangkan dan mengelola standar – standar dalam rangka memastikan terjadinya interkoneksi dan interoperabilitas instrumen pembayaran, kanal pembayaran dan switching serta security. Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) akan menjadi lembaga standar di sistem GPN ini karena merupakan representasi dari industri sistem pembayaran nasional.

2. Lembaga Switching
Lembaga switching ini berfungsi untuk memproses data transaksi pembayaran secara domestik (dengan menggunakan infrastruktur yang dimiliki di Indonesia) dalam rangka interkoneksi dan interoperabilitas.

Kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi lembaga switching adalah :
  • Telah memiliki izin sebagai penyelenggara switching sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
  • Telah melaksanakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik dengan menggunakan infrastruktur yang dimiliki di Indonesia.
  • Memiliki kepemilikan saham paling sedikit 80% (delapan puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga indonesia dan/atau badan hukum indonesia.
  • Mampu dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi switching di gerbang pembayaran nasional.
  • Pihak yang mengajukan permohonan sebagai lembaga switching, selain memenuhi persyaratan diatas juga harus memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah)

Contoh perusahaan penyelenggara switching nasional adalah atm bersama, alto, prima. Selama ini perusahaan switching nasional tersebut meproses data transaksi pembayaran menggunakan kartu debet.

3. Lembaga Services
Lembaga service bertugas antara lain untuk menjaga keamanan transaksi pembayaran dan kerahasiaan data nasabah, melakukan rekonsiliasi, kliring dan setelmen dan mengembangkan sistem untuk mencegah fraud, manajemen resiko dan mitigasi resiko, mengelola life cycle atas secure access module (SAM) dan mobile apps, menangani perselisihan transaksi pembayaran dalam rangka perlindungan konsumen dan melaksanakan tugas lainnya yang diamanatkan oleh Bank Indonesia terkait kegiatan service.

Pihak terhubung
Pihak terhubung dengan GPN terdiri dari bank umum, bank syariah dan lembaga selain bank. Dalam rangka pelaksanaan interkoneksi dan interoperabilitas serta routing domestik di lembaga switching, pihak yang terhubung dengan GPN wajib memenuhi dan melaksanakan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dikelola oleh lembaga standar, memenuhi ketentuan oleh lembaga services, serta wajib terhubung dengan GPN dengan cara menjadi anggota pada paling sedikit 2 (dua) lembaga switching untuk masing – masing instrumen dan atau kanal pembayaran kecuali untuk instrumen yang saling berinteroperabilitas tanpa lembaga switching.

Di dalam PBI tentang GPN ini diatur juga tentang branding, skema harga dan fitur layanan, yaitu :

Branding
Branding nasional mencakup pembuatan logo nasional sebagai simbol atau identitas nasional yang dimaksudkan untuk memperluas akseptasi (penerimaan atau pemahaman) dan meningkatkan engagement (kesadaran) untuk memudahkan komunikasi dan pemahaman masyarakat.

Logo Nasional - Gerbang Pembayaran Nasional

Skema harga
Kebijakan skema harga dalam GPN ditetapkan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut :

- Mendorong perluasan akseptasi, efisiensi, kompetisi, layanan dan inovasi
- Didasari pada aspek cost of recovery ditambah margin yang wajar, risiko dan kenyamanan
- Penetapan besaran dan struktur tarif dan bea


Penetapan kebijakan skema harga ini dapat mempertimbangkan masukan dari pihak lain seperti industri pembayaran dan asosiasi.

Fitur layanan
Fitur layanan yang diatur dalam PBI ini adalah fitur layanan minimum yang harus disediakan oleh penyelenggara GPN dan pihak yang terhubung dengan GPN. Fitur tersebut adalah pembayaran, transfer, tarik tunai, cek saldo atau fitur layanan lainnya yang disesuaikan untuk masing – masing instrumen. Sesuai perkembangan dan inovasi, transaksi pembayaran yang di proses melalui GPN dapat ditambahkan fitur layanan lainnya.

Penerapan GPN di Indonesia dilakukan dengan melakukan kajian best practice tentang sistem pembayaran yang sudah diberlakukan di negara – negara seperti Tiongkok dengan Union pay, Jepang dengan JCB, Malaysia dengan Mycard dan Singapore dengan Nets. 

Sumber :
- Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 19/8/PBI/2017 tentang gerbang pembayaran nasional
- Frequently asked question PBI nomor 19/8/PBI/2017 tentang gerbang pembayaran nasional
- Intisari dari berbagai sumber